May 4, 2010

Ayah. Mamah.

Minggu lalu saya baru saja menghadiri wisuda S2 kakak laki-laki saya (Uda) di Monash University, Melbourne.

Pengalaman yang sungguh-sungguh menarik. Saya menghadiri wisuda kakak saya dengan sepupu saya, tunangan kakak saya, dan seorang wanita terhebat yang pernah saya kenal, ibu saya, Mamah.

Selama prosesi wisuda, saya sibuk kagum dengan gedung kuliah Monash Uni yang memang sangat megah, kantinnya yang sangat besar dengan makanan beragam dari banyak negara, melihat-lihat pernak-pernik merchandise Monash Uni, yang pada akhirnya membuat saya lupa dengan keadaan wanita terhebat ini.

Saat kami keluar dari prosesi wisuda, saya melihat Mamah menunduk terus menerus. Saya rangkul dan saya pandangi wajahnya. Beliau menangis.

Terhenyak saya dibuatnya.

Kenapa, Mah? Saya tanya.

Beliau menggeleng dan hanya menjawab pendek, Harusnya ayah liat Uda lulus S2 disini bareng kita.

Saya terhenyak, jujur. Tak bisa berkata apa-apa untuk menenangkan beliau. Hanya merangkul beliau lebih erat.

Beliau menghapus air matanya dan berkata, Gapapa, mamah cuma sedih aja.

Dan seketika itu pula beliau langsung tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa, dan ikut hanyut dalam kegembiraan Uda.


 

Ya. Ayah saya meninggal dunia ketika saya baru berumur 5 tahun. Dan selama 15 tahun, Ibu saya membanting tulang sendirian demi meluluskan S1 Kakak perempuan saya, menikahkan ia. Meluluskan S1 dan S2 kakak laki-laki saya, dan menyekolahkan saya. Tak pernah sekalipun saya mendengar beliau mengeluh lelah. Hanya pandangan matanya yang membuat saya sadar bahwa saya sangat beruntung dilahirkan dari rahim seorang wanita yang begitu kuat.

Ibu saya orang kuat. Beliau berjuang membanting tulang, bekerja hingga malam untuk menghidupi kami berempat. Kadang saya marah dan kesal dengan beliau, namun disaat-saat seperti saat itu, saat saya disadarkan bahwa tidak semua Ibu dapat berjuang sekuat itu untuk anak-anaknya, hati saya menangis. Tidak, saya tidak akan menangis di depan mamah. Beban hidup beliau sungguh berat dan tidak sekalipun saya pernah melihat ia menangis mengeluh di depan saya. Mengapa saya harus ikut memperberat dan membuat beliau khawatir?

Ketidakberadaan ayah selama lebih dari setengah hidup saya kadang membuat saya 'lupa' bahwa sebagai seorang anak saya butuh sosok laki-laki dewasa. Mamah terlalu pandai memainkan peran gandanya hingga saya tidak merasa kekurangan apapun, hingga ketika beliau berkata seharusnya ayah saya ikut dalam wisuda Uda, saya baru sadar, bahwa akan sangat membahagiakan bila Ayah ada disana ketika melihat Uda lulus S2, dan melihat saya lulus S.ked dan dokter nanti.

Jadi untuk Ayah di sisi Allah SWT. Semoga kalimat di kata pengantar skripsi saya ini bisa membuat ayah tersenyum disana.

Anak bungsu ayah sudah siap menjadi sarjana, Yah. Anak bungsu yang dulu belajar membaca tapi selalu salah. Anak bungsu yang selalu menunggu segelas besar minuman soda gembira ketika ayah pulang.

Ayah, Alm. Darmawan, semoga skripsi ini bisa membuat ayah bangga disisi-Nya.

ps: I DO cry when I wrote this. :'(

2 comments:

  1. :")
    Ga semua ibu sekuat mamah.
    Dan ga semua anak perempuan sekuat kamu.

    In time, kamu akan ada di posisi yang menguatkan mamah, sha. Tetaplah belajar jadi kuat. Sekuat mamah saat ini. :)

    ReplyDelete
  2. makasih sha karena udah nulis ini.

    mengingatkan betapa alma jarang bersyukur dengan apa yang alma dapatkan. :(

    ReplyDelete