August 12, 2011

[fiction] Febi

[fiction] Febi.

Saya Febi Aprillia. Saya bekerja sebagai dokter jaga di ruang ICU Rumah Sakit Sekar Wangi. Setiap hari saya melihat pasien datang dan pergi. Datang dengan wajah panik dari keluarganya, dan pergi dengan dua kemungkinan. Tangisan duka cita, atau Tawa dan beribu terimakasih suka ria.

Saya Febi Aprillia. Setiap hari saya disini, 18 jam sehari, 7 hari seminggu. Bukan, saya bukan kekurangan uang sehingga harus banting tulang bekerja dengan shift penuh. Saya hanya senang merasa dibutuhkan. Disini saya tidak pernah merasa sendirian. Ada pasien, ada suster, ada cleaning service, ada keluarga pasien yang menemani saya berbincang 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Ah, pasti yang ada di otak kalian saya seorang anti-social ya? Yah, mungkin bisa dikatakan seperti itu. Kedua orang tua saya meninggal setelah saya lulus dokter, jarak antar ayah dan ibu saya meninggal hanya berkisar 2 minggu. Bahkan mereka tak dapat hidup sendiri. Saya anak tunggal yang dibesarkan sendirian, tidak mempunyai saudara dekat lain. Sahabat? Ah, satu per satu terdegradasi seiring hidup saya yang terokupasi disini, di ruangan 15 x 5 ini, berisi 8 bed dengan peralatan khas ICU ini, dengan bunyi monitor jantung, nafas, nadi, tensi yang bergantian berbunyi setiap waktu. Dengannya, hari ku tak pernah sepi.

Saya Febi Aprillia. Single. Dan tidak akan pernah ready to mingle. Kehidupan perkuliahan saya yang datar, wajah saya yang biasa saja, ditambah kepribadian saya yang bisa dibilang membosankan menutup kemungkinan saya bertemu pria ideal. Yah, toh saya bahagia disini, di ICU ini, di Rumah Sakit ini.

Saya Febi Aprillia. Hari ini sama seperti hari-hari saya seperti biasa, bangun dari futon yang sengaja disiapkan untuk saya beristirahat di ICU ini, bangkit dan memberikan instruksi pada perawat, dan bersiap melaksanakan follow up harian.

Namun ada yang berbeda hari ini. Tangan saya tak ikut bergerak seiring dengan perintah otak saya. Dengan sekuat tenaga saya memerintahkan tangan kanan saya menopang tubuh saya untuk bangkit dan tak ada yang berubah. Nafas saya semakin cepat. Ada apa ini. Ratusan diagnosa muncul di kepala saya. Stroke kah? Berpaling saya pada tangan kiri saya, dengan sekuat tenaga pula saya perintahkan tangan kiri saya menopang tubuh ini bangkit, tak ada apapun yang terjadi. Baiklah,ekstremitas tak bisa diharapkan, mungkin batang tubuh yang tersisa. Pelan saya mencoba mengangkat leher saya. Eh. Apa ini yang terjadi? Mengapa saat ringan?

Terdiam saya oleh satu fakta. Saya dapat melihat tubuh saya berbaring di futon hijau buluk tempat saya tidur setiap harinya. Entah kenapa, semua terasa ringan seperti terbawa di udara. Berkali-kali saya berteriak memanggil perawat yang saya lihat masuk ke ruang ICU. Hey, saya disini! Teriak saya. Si perawat tak berpaling, malah berusaha membangunkan tubuh saya yang tergeletak kaku di futon buluk itu. Hey, saya disini Suster Asih! Tak terjadi apa-apa. Hey! Hey!

Mengapa ada ayah dan ibu saya tersenyum di pojok sana?

No comments:

Post a Comment