November 8, 2012

Blank Stare


Those blank stares.
Tatapan kosong itu.
Setiap manusia saya yakin mempunyai fase dimana sebuah petir dahsyat melanda kehidupan mereka.
Suatu berita buruk di siang bolong, yang meluluh lantakkan hidup.
Menjungkirbalikkan rencana. Mengubah makna.
Bekerja sebagai dokter internship, membuat saya belajar soal hidup.
Soal beratnya intrik kehidupan kerja sesungguhnya.
Hebatnya kemampuan uang.
Besarnya pengaruh kekuasaan.
Dan makna sebuah kehidupan.
Turun bekerja langsung di dunia medis membuat saya melihat hidup dengan cara lain.
Entah karena pengalaman saya yang memang masih minim, atau karena nurani saya yang belum tergerus uang.
Tapi saya masih (dan mudah-mudahan akan selalu) menujunjung tinggi nilai sebuah kehidupan.
Rentannya profesi kami, di dunia kesehatan, adalah seringnya kami terpapar oleh berita buruk.
Kanker.
Syok.
Infeksi sistemik.
Gagal organ.
dan Kematian.
Hal ini berefek pada nurani, yang lama-lama, pelan-pelan, sedikit-sedikit, mulai luntur disana disini.
Mungkin tulisan saya terlalu mengeneralisir, tapi itu fakta yang saya hadapi.
Saat kematian menjadi sebuah hal biasa, empati kitapun tercecer entah dimana.
Memberi informed consent seakan itu adalah hal biasa.
Tapi hari itu, beda.
Usai saya memberikan informed consent kepada seorang bapak soal keadaan istri dan kedua anak kembar yang sedang dikandung istrinya, saya duduk dibalik meja nurse station ICU.
Sang bapak tersenyum pada saya, setelah saya menjelaskan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, kedua anaknya tak selamat, istrinya pun tak berani saya jamin.
Saat perawat sibuk menyiapkan lembar informed consent untuk beliau tandatangani, sekilas saya melihat tatapan itu.
Tatapan kosong itu.
Rasa panas entah dari mana tiba-tiba muncul di dada saya.
Saya baru saja memberikan petir besar di dalam hidup beliau.

Bagaimana tidak besar? Saya memberitahukan keadaan istrinya yang sedang dalam keadaan Decompensatio Cordis Functional Class III-IV et cause Peripartum Cardiomyopathy dengan in partu pembukaan 6-7, Post Eklamsia, tanpa adanya kemungkinan untuk dilakukan Sectio Cesarea Cito di tempat saya bekerja.
Secara logikapun, saya tidak yakin 100% ibu ini dapat melewati persalinan dengan lancar.
Jantungnya lemah, nafasnya sesak. Bahkan ibu yang normal sekalipun sulit untuk mengedan saat persalinan, apalagi pasien ini dengan dasar penyakit yang cukup rumit.
Tidak cukup saya memberitahukan keadaan ibunya yang ‘jelek’, saya juga harus memberitahukan bahwa mungkin kedua anak kembar yang sedang dikandung si ibu akan mengalami sulit bernafas.

Dan saya melakukan informed consent seakan-akan itu hal yang biasa.

Tatapan kosong itu.

Pelan setelah si bapak selesai menandatangani semua form, beliau mengangguk pada saya, dan berjalan ke samping istrinya sambil memberikan teh manis hangat yang beliau pegang.

Saya tertampar.
Saya baru dua bulan, dan sejauh ini, belum terkontaminasi uang. Namun hati saya mulai kebal dengan berita buruk yang selama ini saya sampaikan.
Guru-guru saya selalu berkoar-koar soal empati, empati, dan empati.
Baru kali ini saya sadari bahwa empati bukan soal kata-kata yang diulang setiap hari.
Tapi soal hati, yang selalu bisa menempatkan diri.
Bukan soal siapa yang paling pintar.
Tapi soal siapa yang paling bernurani.

Tulisan ini saya tulis untuk mengingatkan saya dimasa depan nanti, sebesar apapun godaan uang menanti, hati ini harus selalu diasah dan diresapi. Didengar dan dihayati.
Jangan sampai saya menjadi orang tak berhati, yang selama ini saya temui dan saya benci.

No comments:

Post a Comment