August 27, 2011

Maklum (?)

Hai! Kayanya udah lamaaaa banget dari terakhir saya ngepost tulisan saya yah?

Menuh-menuhin dashboard kalian ya? Yaa maaf deh, disaat pikiran ini melanglang buana kayanya ada baiknya saya mendokumentasikan ide-ide dan pikiran absurd ini. Daripada cuma nyelip di sinaps dan terkubur memori lain :p

Saya baru dapet kejadian yang agak gak enak, sekaligus menyentil saya buat nulis dengan tema ‘Maklum’.

Sering gak sih denger kata ini? Kayanya buat kita, orang Indonesia dengan budaya timur yang kuat (apalagi saya berada di ranah pulau jawa) sering banget kita diminta buat maklum.
“Maklum aja lah si X lupa ngerjain tugas, kalo ditegur suka nangis”
“Maklum aja lah si Y numpahin susu di jok mobil lo, kalo disalahin suka marah balik”
“Maklum aja lah si Z gak jaga. Dia suka banyak alesan kalo ditegur”

Pasti kita semua pernah (atau bahkan sering ngadepin keadaan kaya gini.
Saya pribadi, kesel BANGET kalo disuruh me-maklum-kan orang kaya gini.
Well, mungkin terdengar egois atau gak pengertian, tp buat saya pointnya gak disitu,
Kalo saya mau maklum sama keadaan seseorang, biarkan saya memahamikeadaan dia, dan biarkan saya yang memutuskan apakah saya mau memaklumi dia atau tidak.

Contoh kasus:
“Maklum aja lah si A lupa ngerjjain tugas, tadi malem dia jaga
Ketika alesan saya untuk memaklumi dia masuk akal, buat saya gak masalah, ini hanya soal menempatkan diri saya di posisi dia, put my self in their shoes.
Tapi ketika saya harus memaklumi seseorang krn sifat (jelek)nya dia dari sananya memang begitu, buat saya gak masuk akal.

Bayangin gak kalo waktu kecil ketika kita suka ngejilatin apapun yang ada di depan mata. Kebayang gak kalo saat itu orang tua kita mikir “Maklumin aja lah, Shasha ngejilatin kap mobil, gak bisa dilarang”. Mungkin saat ini saya udah punya usaha cuci mobil *loh* Hehe, kidding.

Point saya adalah, ada saatnya yang kita harus lakukan bukan saling memaklumi.
Bukan cuma menerima fakta bahwa mereka begitu.
Bukan saling membiarkan mereka ke arah yang lebih buruk. Dengan pemakluman kita bahwa “Kalo ditegur suka nangis” “Kalo disalahin suka marah balik” “Banyak alasan kalau ditegur” ya orang-orang ini (mungkin termasuk saya) bakal mikir kalo sikap mereka benar.
Bahwa orang bisa memaklumi sifat/sikap mereka yang salah itu.

Ingat, kita sebagai manusia (khususnya muslim) punya kewajiban buat ngingetin dan ngasi tau yang benar ke sesama saudara kita. Bukannya memakluminya dan menjerumuskan mereka makin dalam.

Saya pribadi sih, kalo saya cukup care dan saya tau orang yang mau saya ingetin itu MAU ngedenger, insyaAllah saya ingetin. Saya juga maunya gitu, toh siapa sih saya, jauh banget dari sempurna.

Ciao!

August 13, 2011

Koass.

Ngeliat excitement dan ketakutan temen-temen 07 yang mau koas…
Jd inget, ini udah hampir 1 tahun gue ngejalanin hari2 gue sebagai dokter muda di rshs.
Capek, gondok, seneng, sedih, stress, excited, terharu.
Semua kumpul jadi satu.

Capek. Ketika residen a nyuruh x, residen b nyuruh y, residen c nyuruh z. Dan jangan lupa tekanan dari teman sekelompok, yang MT, yang pemales, yang tukang cari ribut, yang ngabur mulu, yang batu. Semua ada :D

Gondok. Ketika tugas lo semua yang ngerjain, tp for-kolegalisme-sake mau ga mau harus nyantumin nama temen yg ga ngapa2in di cover tugas. Jangan lupakan teman yang terkadang MT saat jaga.

Seneng. Ketika tugas lo dipuji, ketika liat pasien membaik, ketika residennya baik dan mau ngasih ilmu2 praktis, dan ketika kecengan nyapa lo di lorong-lorong rumah sakit. *eh* *loh*

Sedih. Ketika ujian kena jebakan batman penguji. Ketika dimarahin residen. Ketika gak bisa jawab pertanyaan dr pasien dengan sempurna.

Stress. Longcase IPD, sooca IPD, Longcase Anak, nunggu oncall forensik. Ga ada yg ngalahin deg-degannya.

Excited. Nginfus pertama, masang kateter pertama, pasang ngt pertama, ngeekg pertama, nebu pertama, jahit pertama, resep pertama, informed consent pertama, rjp pertama, diagnosis benar pertama, terapi pertama. Semua pengalaman pertama.

Terharu. Dengan gimana pasien bilang terimakasih sama lo. Dengan liat suami yang nemenin istrinya melahirkan. Dengan ibu yang nungguin anaknya sakit. Dengan anak yang nungguin ibunya sakit. Dengan gimana keluarga pasien mendoakan kelancaran studi kita. Dengan gimana kita sadar bahwa diluar sana, banyak yang butuh kita :)

Yap. Koas dengan dinamikanya. Capeknya. Gondoknya. Senengnya. Stressnya. Sedihnya. Excitednya. Terharunya. Dan sejuta perasaan lainnya yang gak akan pernah kita temuin saat dihadapan kita cuma kertas, buku, dan dosen. Bukan manusia-manusia nyata yang butuh bantuan kita. :)

August 12, 2011

[fiction] Febi

[fiction] Febi.

Saya Febi Aprillia. Saya bekerja sebagai dokter jaga di ruang ICU Rumah Sakit Sekar Wangi. Setiap hari saya melihat pasien datang dan pergi. Datang dengan wajah panik dari keluarganya, dan pergi dengan dua kemungkinan. Tangisan duka cita, atau Tawa dan beribu terimakasih suka ria.

Saya Febi Aprillia. Setiap hari saya disini, 18 jam sehari, 7 hari seminggu. Bukan, saya bukan kekurangan uang sehingga harus banting tulang bekerja dengan shift penuh. Saya hanya senang merasa dibutuhkan. Disini saya tidak pernah merasa sendirian. Ada pasien, ada suster, ada cleaning service, ada keluarga pasien yang menemani saya berbincang 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Ah, pasti yang ada di otak kalian saya seorang anti-social ya? Yah, mungkin bisa dikatakan seperti itu. Kedua orang tua saya meninggal setelah saya lulus dokter, jarak antar ayah dan ibu saya meninggal hanya berkisar 2 minggu. Bahkan mereka tak dapat hidup sendiri. Saya anak tunggal yang dibesarkan sendirian, tidak mempunyai saudara dekat lain. Sahabat? Ah, satu per satu terdegradasi seiring hidup saya yang terokupasi disini, di ruangan 15 x 5 ini, berisi 8 bed dengan peralatan khas ICU ini, dengan bunyi monitor jantung, nafas, nadi, tensi yang bergantian berbunyi setiap waktu. Dengannya, hari ku tak pernah sepi.

Saya Febi Aprillia. Single. Dan tidak akan pernah ready to mingle. Kehidupan perkuliahan saya yang datar, wajah saya yang biasa saja, ditambah kepribadian saya yang bisa dibilang membosankan menutup kemungkinan saya bertemu pria ideal. Yah, toh saya bahagia disini, di ICU ini, di Rumah Sakit ini.

Saya Febi Aprillia. Hari ini sama seperti hari-hari saya seperti biasa, bangun dari futon yang sengaja disiapkan untuk saya beristirahat di ICU ini, bangkit dan memberikan instruksi pada perawat, dan bersiap melaksanakan follow up harian.

Namun ada yang berbeda hari ini. Tangan saya tak ikut bergerak seiring dengan perintah otak saya. Dengan sekuat tenaga saya memerintahkan tangan kanan saya menopang tubuh saya untuk bangkit dan tak ada yang berubah. Nafas saya semakin cepat. Ada apa ini. Ratusan diagnosa muncul di kepala saya. Stroke kah? Berpaling saya pada tangan kiri saya, dengan sekuat tenaga pula saya perintahkan tangan kiri saya menopang tubuh ini bangkit, tak ada apapun yang terjadi. Baiklah,ekstremitas tak bisa diharapkan, mungkin batang tubuh yang tersisa. Pelan saya mencoba mengangkat leher saya. Eh. Apa ini yang terjadi? Mengapa saat ringan?

Terdiam saya oleh satu fakta. Saya dapat melihat tubuh saya berbaring di futon hijau buluk tempat saya tidur setiap harinya. Entah kenapa, semua terasa ringan seperti terbawa di udara. Berkali-kali saya berteriak memanggil perawat yang saya lihat masuk ke ruang ICU. Hey, saya disini! Teriak saya. Si perawat tak berpaling, malah berusaha membangunkan tubuh saya yang tergeletak kaku di futon buluk itu. Hey, saya disini Suster Asih! Tak terjadi apa-apa. Hey! Hey!

Mengapa ada ayah dan ibu saya tersenyum di pojok sana?

August 8, 2011

Menunggu layang-layang

Menunggu Layang-Layang.
Che: Aku... Memang segitu takutnya... Segitu enggak percaya-nya. Tapi, aku sekarat tanpa kamu. Sori, aku enggak pernah berani jujur. Dua hari itu adalah dua hari paling indah dalam hidupku.
Starla: Baru sekarang aku tahu rasanya kehilangan. Sakit sekali. Aku kangen tempat sampahku.
Che: Hei. Mau tempat sampah kek, mau septic tank, mau lubang biopori, aku rela. Aku kangen teleponmu, curhat-curhat busukmu, aku kangen kamu. Sangat amat kangen.
Starla: Tapi, nanti aku curhat tentang siapa, dong? Aku enggak mau sama siapa-siapa lagi.
Che: Curhat tentang aku kan bisa
Starla: Gimana mungking aku curhat sama kamu--tentang kamu?
Che: Anggap saja kamu ikan lele. Bisa berkembang biak di septic tank. Dia hidup bahagia di tempat sampahnya

August 1, 2011

Synapses

Synapses.

It’s funny how brain stores memories, eh?
Beberapa benda, bau, kejadian kecil yang membawa pikiran ini jauh melanglang buana.

Pada satu momen itu.
Momen saat aku tahu aku benar-benar bahagia.
Saat aku tahu bahwa hidupku, saat itu, lengkap.
Sempurna.
Momen yang mungkin tidak mungkin pernah kamu, mereka, atau bahkan aku sendiri bayangkan.
Yang mungkin terselip antara sinaps neuron-mu, terlupakan begitu saja.
Momen sederhana yang selalu mendatangkan rasa tidak nyaman di dada.
Kata orang, itu namanya heartburn.
Dyspepsia kah? GERD kah? Atau bahkan tanda infarct?
Bukan.
Ini mungkin hanya rasa ngilu dari hatiku yang terbakar.
Terbakar oleh memori-ku tentang kamu pada momen itu.
Momen ketika kamu berada di belakangku.
Bercerita tentang sebuah lagu.
The Script - Breakeven.
Dengan cahaya temaram,
Dan latar belakang suaramu
Aku tahu, saat itu, aku bahagia.

Dan heartburn itu muncul.
Selalu. Bahkan saat aku menulis ini untukmu.
Rasa terbakar tak nyaman di dada.
Rasa tak nyaman yang mengingatkanku, menamparku, menyadarkanku aku pernah sebahagia itu.
Dan aku akan sebahagia itu nanti.
Entah bagaimana caranya.