September 26, 2013

Stop (?)

Know When To Stop.
It’s easy to say. But it’s very hard to do.
Tulisan ini terinspirasi setelah saya menemani seorang teman yang sedang rutin berobat dengan seorang dokter kulit yang cukup terkenal pada daerahnya.

Teman saya ini, tipikal perempuan yang sangat care dengan penampilannya. Rapi dan dandannya tertata dengan baik. Suatu saat, di wajahnya mulai muncul jerawat-jerawat kecil, out of nowhere. Ternyata hal ini sangat jd concern buat dirinya, hingga dia memutuskan untuk memulai perawatan dengan dokter kulit kelamin yang terkenal pada daerah kami.

Sebagai penonton, saya memperhatikan step step yang ia jalani demi
mencapai kulit sempurnanya. Ratusan ribu telah keluar, banyak perawatan telah ia lewati. Pergantian sabun, sunblock, day cream, night cream, scrub, masker, peeling, microdermabrasi, facial, telah semuanya ia lewati. Hasilnyapun tampak, menurut saya. Jerawat-jerawat mini yang tadinya memenuhi wajahnya hilang, kulitnyapun tampak lebih cerah. Singkat kata, menurut saya kulitnya sudah flawless.

Hari itu saya menemaninya untuk menjalani langkah perawatan (yang entah keberapa), tepat sebelum bertemu dengan sang dokter kulit, di mobil, saya berkata “Kulit lo sekarang udah bagus banget, tinggal ngejaganya aja ini mah”. Iapun setuju dengan pendapat saya.
Setelah menunggu sekitar 30 menit hasil berkonsultasi dengan sang dokter, teman saya inipun menemui saya di mobil dengan muka sedikit ditekuk. “Loh, kenapa?” Tanya saya. “Makin mahal perawatan gue” jelasnya.
Saya jelas kaget. Bagaimana bisa seorang dengan kulit yang terawat, dan terhitung sangat bagus malah menjalani perawatan yang lebih mahal.
“Lah, kok bisa?” Tanya saya.
“Iya, katanya skrg pori-pori gue harus dikecilin, kantung mat ague juga kan keliatan” jawab dia.
“Lah, bukannya dari dulu emang udah begitu?”
“Iya sih, tapi kata dokternya kalo mau bagus, ya begitu..” jelas teman saya.
Lalu saya menanyakan satu hal ini: “Lo Tanya dokternya gak, treatment lo akan berhenti sampe apa?”
Teman saya bertanya balik, “Maksudnya?”
Saya bilang “Iya, kan kalo berobat demam berdarah, indikasi pulang lo kalo trombosit udah lebih dari 80.000 dari bebas syok 3 hari tuh, kalo TB berhenti berobat kalo BTA udah (-) paska pengobatan, bahkan kusta aja ada release from treatmentnya. Kalo lo, kapan berhentinya?”
Teman sayapun terdiam, dan mengangkat bahu. “Bakal ada terus sih yang dikomplain ya”

***
Saya jadi tersentil.
Isn’t that how we live in society?
Tuntutan-tuntutan tanpa henti. Entah yang berujung pada apa.
Saat SMA, tuntutannnya diterima di fakultas/universitas sebaik mungkin.
Saat kuliah, tuntutannya mendapat IP setinggi mungkin.
Saat lulus, tuntutannya bekerja di tempat dengan gaji sebagus mungkin.
Saat gaji bagus, tuntutannya kapan menikah dengan orang yang se-oke mungkin.
Saat menikah, tuntutannya kapan memiliki anak selucu mungkin?
Saat punya anak, tuntutannya kapan menambah adik (sebanyak mungkin) ?
Dan ketika anak sudah dewasa, tuntutannya kapan mendapat menantu se-oke mungkin.
Lingkaran tuntutan tanpa akhir.
Lalu pertanyaan saya,

Kapan lingkaran tuntutan ini berakhir?
Kapan kita dinyatakan ‘Release from Assertion’?

Lalu saya berfikir dan berfikir.
Dari dua topic (yang entah bersinggungan atau tidak diatas. Atau ini hanya semacam loncatan ide dalam kebiasaan asosiasi longgar saya) itu, kuncinya satu: know when to stop.
Tau kapan berhenti dari tuntutannya tak berujung.
Untuk menjadi cantik, untuk mendapat universitas terbaik, untuk mendapat IP tertinggi, untuk mendapat gaji terbagus, untuk menikah tercepat, untuk punya anak (terbanyak?)
Untuk menjadi yang paling-paling-paling dari semua.
Dan mulai mencoba hidup tanpa judgment.
Tanpa tuntutan.
Tanpa kebutuhan atas pengakuan orang lain.
Tanpa pretensi apa-apa.

Saya membaca tentang kebiasaan hidup orang-orang di Swiss di buku The Geography of Bliss, dan somehow saya sangat ingin menerapkan pola hidup orang Swiss pada keturunan saya kelak.
Di Swiss, katanya, berbuat sombong merupakan sesuatu yang memalukan.
Bicara tentang uang adalah hal yang tabu.
Bahkan untuk member tahu/mengkritik orang lain pun menjadi hal yang tabu. Karenanya orang swiss tampak menjadi manusia yang cuek dengan keberadaan orang lain. Karena bagi mereka, member tahu/mengkritik orang lain menunjukkan bahwa orang itu merasa lebih dari orang lain.
Dan merasa lebih dari orang lain bagi mereka adalah yang tabu.

Isn’t that nice?

1 comment:

  1. Gw pernah punya fase ikhlas sha. Ketika u really dont care what people say, what you is what u believe is right. Other people think about you is none of your business. Waktu itu gw ngerasa hidup gw ya buat Tuhan gw, kalo gw dpt rejeki ya alhamdulullah, kalo engga ya pasti ada cerita lain di balik itu semua. Waktu itu gw rajin shalat n ngaji, makanya gw punya state of mind kaya gitu. So ashamed fase itu ud ga ada. Ampe skrg gw msh kaya org yg kaya lo ceritain di atas. Secara nyata, gw org yg merugi, krn gw ga jd lebih baik. Tp semoga Tuhan memaafkan. Maap ya ikut cuap2. Goodluck ya sha, semoga ikhlas of whatever flies in front of you,

    ReplyDelete